Overthingking Gue Tentang Seorang Pria



Akhir-akhir ini, di penghujung tahun 2024, gue sering menghabiskan akhir pekan sendirian. Bukan karena nggak punya teman—teman gue makin dikit lebih tepatnya—tapi karena beberapa kejadian yang bikin gue lebih nyaman sendiri. Biasanya, gue cari café kecil buat kerja lebih produktif. Targetnya nggak muluk-muluk: dapet dua tulisan aja udah puas.

Suatu hari, dengan harapan bisa nemu inspirasi baru, gue mutusin buat mampir ke sebuah café besar yang lumayan ramai. Gue pikir, tempat kayak gini cocok buat ngamatin kelakuan orang-orang random. Kadang, tingkah laku mereka bisa jadi bahan tulisan yang menarik. Gue pilih duduk di pojok, nyender ke dinding dengan pembatas kayu. Di sebelah gue ada deretan meja kecil yang disatukan jadi meja panjang. Meja itu udah dikasih tanda "Reserved", tapi awalnya gue nggak terlalu peduli.

Gue mulai kerja. Satu tulisan selesai, lumayanlah. Tapi tiba-tiba suasana berubah ketika pemilik reservasi datang—ternyata satu keluarga besar! Mereka rame banget, bawa suasana hangat khas keluarga yang lagi kumpul. Gue sempet nyengir ngeliat mereka bahagia pas makanan mulai berdatangan. Semua asyik menikmati hidangan, ketawa, cerita, seolah nggak ada beban di dunia.

Namun, ada satu pemandangan yang bikin gue berhenti ngetik. Di ujung meja, seorang pria dengan bahu tegap tapi wajah sedikit kusut memegang rentetan struk panjang. Ekspresi dia menarik perhatian gue. Meskipun sekilas dia berusaha tersenyum, kelihatan jelas ada rasa kaget waktu dia liat total tagihan.

Pria itu bangkit, jalan ke arah kasir dengan langkah yang agak berat. Beberapa menit kemudian, dia balik ke meja dengan ekspresi yang lebih ceria—tapi gue bisa tebak, senyum itu kayak tameng aja. Dalam hati gue mikir, segitunya ya jadi laki-laki? Harus kuat, harus ngebayarin satu keluarga besar di café mahal kayak gini cuma buat dianggep berguna? Bayangin aja, es teh tawar di café itu aja harganya lima belas ribu segelas!

Di sisi lain meja, ada anggota keluarga yang sibuk foto-foto. Gue yakin beberapa di antaranya langsung diunggah ke media sosial atau grup keluarga. Mungkin itu semacam bentuk apresiasi buat si mas-mas yang tadi ngebayar semua. Tapi gue nggak bisa berhenti mikir, kalau suatu hari pria ini tiba-tiba nggak punya duit, apakah dia masih bakal diperlakukan sama?

Pria sering kali dihargai hanya ketika mereka mampu menghasilkan sesuatu. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: apakah kasih sayang kepada pria hanya ada dalam situasi tertentu? Banyak pria yang ditinggalkan karena alasan “tidak bisa memberikan nafkah.”

Masyarakat sering menjadikan kemampuan ekonomi sebagai indikator keberhasilan pria. Pria dianggap berhasil hanya jika mampu menghasilkan sesuatu, sedangkan jika tidak, mereka seolah tak lagi dibutuhkan dan “dibuang.”

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, faktor ekonomi menjadi penyebab perceraian tertinggi kedua, dengan 108.488 kasus. Angka ini menunjukkan bagaimana sistem patriarki di Indonesia turut memengaruhi persepsi tentang pria. Pria yang tidak mampu memberikan penghidupan layak untuk keluarganya sering kali dianggap gagal.

Namun, kita juga perlu mengakui keberadaan pria yang hanya “modal sperma” tanpa tanggung jawab. Meski demikian, tidak adil mengabaikan pria yang tetap berjuang keras demi keberlangsungan hidup keluarganya. Sayangnya, ada pula pria yang, meskipun telah bekerja keras, tetap terjebak dalam penghasilan yang stagnan.

Pandangan ini mengingatkan kita pada konsep patriarki toksik yang sering kali memaksa pria untuk terus menunjukkan kekuatan finansial mereka sebagai tolok ukur nilai diri. Dalam kajian gender, hal ini dikenal sebagai “beban maskulinitas”, di mana pria menghadapi tekanan untuk selalu menjadi penyedia, tanpa ruang untuk menunjukkan kerentanan.

Sebagai masyarakat, kita perlu membuka ruang diskusi yang lebih inklusif tentang peran gender, termasuk menyadari bahwa nilai seseorang tidak hanya diukur dari kontribusi finansial. Dengan begitu, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih adil dan manusiawi bagi semua individu, terlepas dari gendernya.

Ya udah deh ya. Gue cuma bisa berharap semoga mas-mas itu tidak seperti pikiran berlebihan yang ada di otak gue ini. Semoga dia tetap diberikan rejeki lebih, bisa membahagiakan keluarga besarnya, dan apapun situasinya, dia akan selalu didukung oleh orang-orang terdekatnya. CHAU.

 

Comments