Suatu hari, dengan harapan bisa
nemu inspirasi baru, gue mutusin buat mampir ke sebuah café besar yang lumayan
ramai. Gue pikir, tempat kayak gini cocok buat ngamatin kelakuan orang-orang
random. Kadang, tingkah laku mereka bisa jadi bahan tulisan yang menarik. Gue
pilih duduk di pojok, nyender ke dinding dengan pembatas kayu. Di sebelah gue
ada deretan meja kecil yang disatukan jadi meja panjang. Meja itu udah dikasih
tanda "Reserved", tapi awalnya gue nggak terlalu peduli.
Gue mulai kerja. Satu tulisan
selesai, lumayanlah. Tapi tiba-tiba suasana berubah ketika pemilik reservasi
datang—ternyata satu keluarga besar! Mereka rame banget, bawa suasana hangat
khas keluarga yang lagi kumpul. Gue sempet nyengir ngeliat mereka bahagia pas
makanan mulai berdatangan. Semua asyik menikmati hidangan, ketawa, cerita,
seolah nggak ada beban di dunia.
Namun, ada satu pemandangan yang
bikin gue berhenti ngetik. Di ujung meja, seorang pria dengan bahu tegap tapi
wajah sedikit kusut memegang rentetan struk panjang. Ekspresi dia menarik
perhatian gue. Meskipun sekilas dia berusaha tersenyum, kelihatan jelas ada
rasa kaget waktu dia liat total tagihan.
Pria itu bangkit, jalan ke arah
kasir dengan langkah yang agak berat. Beberapa menit kemudian, dia balik ke
meja dengan ekspresi yang lebih ceria—tapi gue bisa tebak, senyum itu kayak
tameng aja. Dalam hati gue mikir, segitunya ya jadi laki-laki? Harus kuat,
harus ngebayarin satu keluarga besar di café mahal kayak gini cuma buat
dianggep berguna? Bayangin aja, es teh tawar di café itu aja harganya lima
belas ribu segelas!
Di sisi lain meja, ada anggota
keluarga yang sibuk foto-foto. Gue yakin beberapa di antaranya langsung
diunggah ke media sosial atau grup keluarga. Mungkin itu semacam bentuk
apresiasi buat si mas-mas yang tadi ngebayar semua. Tapi gue nggak bisa
berhenti mikir, kalau suatu hari pria ini tiba-tiba nggak punya duit, apakah
dia masih bakal diperlakukan sama?
Pria sering kali dihargai hanya
ketika mereka mampu menghasilkan sesuatu. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan:
apakah kasih sayang kepada pria hanya ada dalam situasi tertentu? Banyak pria
yang ditinggalkan karena alasan “tidak bisa memberikan nafkah.”
Masyarakat sering menjadikan
kemampuan ekonomi sebagai indikator keberhasilan pria. Pria dianggap berhasil
hanya jika mampu menghasilkan sesuatu, sedangkan jika tidak, mereka seolah tak
lagi dibutuhkan dan “dibuang.”
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, faktor ekonomi menjadi penyebab perceraian tertinggi kedua, dengan 108.488 kasus. Angka ini menunjukkan bagaimana sistem patriarki di Indonesia turut memengaruhi persepsi tentang pria. Pria yang tidak mampu memberikan penghidupan layak untuk keluarganya sering kali dianggap gagal.
Namun, kita juga perlu mengakui
keberadaan pria yang hanya “modal sperma” tanpa tanggung jawab. Meski demikian,
tidak adil mengabaikan pria yang tetap berjuang keras demi keberlangsungan
hidup keluarganya. Sayangnya, ada pula pria yang, meskipun telah bekerja keras,
tetap terjebak dalam penghasilan yang stagnan.
Pandangan ini mengingatkan kita
pada konsep patriarki toksik yang sering kali memaksa pria untuk terus
menunjukkan kekuatan finansial mereka sebagai tolok ukur nilai diri. Dalam
kajian gender, hal ini dikenal sebagai “beban maskulinitas”, di mana pria
menghadapi tekanan untuk selalu menjadi penyedia, tanpa ruang untuk menunjukkan
kerentanan.
Sebagai masyarakat, kita perlu
membuka ruang diskusi yang lebih inklusif tentang peran gender, termasuk
menyadari bahwa nilai seseorang tidak hanya diukur dari kontribusi finansial.
Dengan begitu, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih adil dan
manusiawi bagi semua individu, terlepas dari gendernya.
Ya udah deh ya. Gue cuma bisa berharap semoga mas-mas itu tidak seperti pikiran berlebihan yang ada di otak gue ini. Semoga dia tetap diberikan rejeki lebih, bisa membahagiakan keluarga besarnya, dan apapun situasinya, dia akan selalu didukung oleh orang-orang terdekatnya. CHAU.
Comments
Post a Comment