KEGOBLOKAN RAKYAT TIK TOK



Belakangan ini, gue lagi resah banget sama aliran informasi di TikTok. Mayoritas konten yang viral tuh, kalau boleh jujur, sering banget yang kontroversial dan nggak ada isinya. Bayangin, konten receh yang nggak jelas aja gampang banget viral. Bahkan akun baru, kalau upload video random orang ngelakuin hal bodoh, bisa langsung ditonton ribuan, bahkan jutaan orang.

 

Komentar-komentarnya juga sering bikin geleng-geleng. Konten yang niatnya buat edukasi malah dibalas bercanda. Terus, kalau kita kasih tanggapan serius dan masuk akal, biasanya dibalas, "Yaelah, bang, serius amat! Santai aja kali." Lihat kan? Gue jadi mikir, sebenarnya orang-orang ini cari apa sih di TikTok? Apa mereka cuma larut aja di ekosistemnya?

 

Setelah dipikir-pikir, masalahnya tuh kompleks. Yang salah itu aplikasinya atau penggunanya? Kayaknya dua-duanya saling mendukung, menciptakan sinergi ketololan yang bikin pusing.

 

Kenapa gue bilang gitu?


Karena TikTok bekerja berdasarkan interest graph. Artinya, algoritmanya menyesuaikan konten berdasarkan kebiasaan kita: lama nonton video, nge-like, komen, atau share. Bahkan akun kecil bisa viral kalau kontennya menarik atau interaktif. Jadi, TikTok itu ekosistem yang content-first banget. Semua orang bebas ngomong apa aja dan percaya diri untuk tampil.

 

Kalau ngomongin kesetaraan, algoritma ini kayak fantasi dunia ideal, di mana semua orang punya kesempatan yang sama buat viral.


TAPI!!!


Lu sadar nggak kalau pendidikan itu mahal?


Protein dan vitamin buat otak itu juga mahal!

 

Jumlah orang yang punya akses ke keduanya—yang bikin mereka jadi individu ideal—itu sangat sedikit. Singkatnya, orang tolol di dunia ini banyak. Dan mereka semua ngumpul di TikTok? Efeknya? Ya ikut-ikutan goblok.

 

Masalahnya, orang-orang yang kurang informasi sering banget percaya sama apa yang muncul di TikTok, tanpa cek dulu benar apa nggaknya. Lebih parahnya, ada yang mulai pakai TikTok buat referensi sesuatu. Serius, TikTok bukan jurnal ilmiah, guys! Gue nggak bilang semuanya salah, tapi ini bukan sumber yang kredibel.

 

Belum lagi, standar hidup toksik ala TikTok. Banyak orang yang ngikutin tanpa mikir, "Eh, bener nggak ya gue harus kayak gini?" TikTok kayak atur hidup mereka. Padahal, nggak semua yang viral itu patut diikuti.

 

Gue pernah baca penelitian menarik soal ini. Judulnya: Fenomena Self-Diagnose terhadap Konten Kesehatan Mental di Media Sosial TikTok (kalo yang mau baca ini referensinya: https://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/JSSH/article/download/23784/pdf). Singkatnya, orang jadi gampang percaya sama konten kesehatan mental di TikTok, padahal banyak yang kredibilitasnya diragukan. Hasilnya? Mereka salah diagnosa diri sendiri. Contoh: "Kayaknya gue bipolar, deh," cuma karena nonton video TikTok, tanpa cek ke dokter. 

 

Jujur, gue masih punya harapan. Gue yakin, seiring waktu, orang-orang bakal lebih dewasa dan kritis. Kalau nggak, ya selamat tinggal mimpi Indonesia Emas. Itu cuma bakal jadi wacana kosong.

Comments