Matahari
pagi itu seperti mengintip di balik mendungnya langit. Matahari selalu
tersenyum meski tampak sedih di balik mendung. Dua kaki kecil bergantian ke
depan dan kebelakang menelusuri pinggir jalan sambil sesekali melompat melewati
genangan air. Ya… Semalam hujan terjun bebas menghantam bumi seakan menangis
karena perihnya luka hati..
Hati
siapa?
Entah
lah.
Tangan
kecilnya membawa lembaran kertas dengan tulisan padat berisi berita beberapa
hari belakangan.
Berita
bagus kah?
Entah
lah.
Satu,
dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan.. Tepat delapan lompatan menghindari
genangan air sampai anak kecil itu datang menghampiri ku membawa lembaran itu..
“
Korannya mas?” Anak itu menyapa ku dengan penawarannya.
“
Boleh saya lihat dulu korannya?” Aku melontarkan pertanyaan aneh untuk
seseorang yang akan membeli Koran. Bagaimana mungkin membeli koran dengan
membacanya terlebih dahulu kemudian membayarnya.
“
Boleh.” Anak itu menjawab dengan cepat dan melontarkan senyuman tulusnya kepada
pembeli yang mungkin saja tidak ingin membeli korannya.
Aku
memang tidak ingin membaca koran hari itu. Aku hanya akan membeli beberapa
koran darinya dan menggunakannya untuk alas penutup barang-barang yang akan ku
simpan di gudang rumahku. Kenapa tidak koran bekas saja? Pertannyaan yang
bagus. Aku akan menyimpan barang-barang pemberian seseorang yang mungkin saja
kembali.
Mungkin…
Jika
dia kembali, maka koran hari itu akan mengingatkan ku saat aku mulai menyerah
dan memutuskan untuk melupakannya.
Januari
akan berakhir… Apakah harapan ku agar dia kembali berlalu bersama Januari? Kemudian
dia tidak akan datang lagi…
“
Baiklah, saya akan membeli 4 koran sekaligus.”
“
Ha? Beneran?” Mata anak itu berbinar-binar layaknya kristal karena hari masih
pagi tapi sudah menjual 4 koran sekaligus.
“Yap…
Kenapa tidak?”
“Oke.”
Tanpa basa-basi si anak kecil itu memberikan ku 4 koran dari tangannya.
“Terima
kasih.”
Anak
kecil itu meletakan korannya di atas bangku yang aku duduki kemudian duduk di
sebelahnya. Anak kecil itu duduk dengan mengayun-ngayunkan kaki melihat ke kanan
kemudian melihat ke kiri dengan senyum kecil yang terlukis di wajahnya.
“Kenapa
tidak dibaca korannya?”
“Oh
ini? Saya tidak berminat membacanya.”
“Kenapa?
Apa karena mas kasihan melihat aku yang kecil kemudian membeli 4 koran
sekaligus?”
“Hahaha…
Ternyata kamu anak yang pintar berbicara ya. Tidak, aku tidak akan membacanya.
Aku akan menggunakannya untuk hal yang lain.”
“Oh…”
“…”
Hari
itu tidak terlalu banyak orang yang melintasi pertigaan itu. Mungkin karena hujan
semalam atau karena aku terbawa dengan perasaan selalu sendiri belakangan ini.
Perasaan yang membuat aku seperti tidak menyadari banyaknya orang yang lewat di
sekitaran ku.
“Sedang
menunggu seseorang mas?”
“Iya…
Ah, Tidak.”
“Hahaha…
Sebentar menunggu sebentar tidak. Mengapa begitu?”
“Mungkin
dia tidak akan pernah datang.”
“…”
“…”
“Apakah
dia orang yang baik?”
“Ya…
Dia wanita yang sangat baik.”
“Kan!!!
Dia pasti datang!”
“Saya
tidak pernah membuat janji dengannya di sini dan tidak di mana pun.”
“Terus
kenapa menunggu kalo tidak membuat janji? Orang dewasa itu membingungkan.”
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Saya
cuman berharap jika dia akan kembali entah di sini atau di mana pun.”
“Menurut
ku dia tidak akan datang… Karena mas tidak pernah membuat janji dengannya.” Dia
membalas perkataan ku dengan mengagkat kedua bahunya.
“Jika
kamu sudah dewasa, kamu akan tau kalau takdir akan membawa mu ke orang yang
paling kamu tunggu.”
“Aku
sangaaaaaaaaat tidak mengerti. Hahaha… Terus, dia orang yang seperti apa?”
“Dia
seperti apa ya? Banyak hal indah di Bumi… Mungkin dia salah satunya...”
“Apa
dia seperti ibu peri?... Aku tidak mengerti.”
“Hahahaha..
Dasar… Tidak, dia tidak mungkin secantik peri. Dia tidak bisa terbang apa lagi
memiliki sayap dan tongkat ajaib, karena itu dia bukan ibu peri. Dia tidak lah
secantik yang kamu bayangkan. Dia mempunyai banyak kelemahan. Dia seorang yang
manja, tidak tahu harus berbuat apa saat berada di lingkungan baru, bahkan
tidak pernah percaya dengan dirinya sendiri. Dia mempunyai mata yang tidak
terlalu lebar. Dia tidak mempunyai rambut yang lurus dan halus, tapi rambutnya
yang berombak itu membuatnya sangat saya kagumi. Dia tidak punya tubuh yang tinggi dan langsing
seperti super model yang banyak dikagumi pria. Dia hanya seorang wanita dengan
tinggi badan seadanya dan memiliki berat badan yang sedikit berlebih ..
hahahah.. mungkin jika dia mendengarnya, saya bisa terkena pukulan maut darinya
hahahha.. Tapi dia itu memiliki sesuatu yang.. saya tidak tau itu apa.. Dia
telah menyentuh hati saya… Saya tidak pernah menunjukan bahwa saya sangat
menyayangi dia.. Padahal saya sangat mengagumi dia.. hahahha”
“Baik
lah… Mungkin aku sangat sulit membayangkannya. Mungkin seperti kakak yang di
sana ya?” Anak itu menujuk ke seberang pertigaan jalan.
Aku
mengikuti arah jari telunjuk anak itu dan menoleh ke arah kiri dan tepat
diseberang sana ada seorang wanita berdiri seperti menunggu seseorang. Dengan blouse
sifon dan celana panjang.. tapilan sederhana yang sering aku lihat. Itu dia…
wanita yang tadi aku bicarakan dengan anak kecil di sebelah ku ini. Aku
berfikir mungkin takdir membawa ku hari itu untuk bertemu dengannya. Setelah
aku memutuskan menyerah, kemudian aku seperti melihat titik terang jalan
kembali padanya.
Aku
terdiam dan seperti tidak sadarkan diri. Mimpi? Tidak ini kenyataan.. Aku bisa
merasakan dinginya hari itu. Apa yang harus aku lakukan? Mulai berdiri dan
berlari kearahnya atau tetap duduk dan berharap dia melihat ku.
Mungkin
tidak hari ini untuk ragu. Entah kenapa kursi yang aku duduki hari itu seperti
magnet alam yang sangat kuat dan membuat ku harus mengumpulkan tenaga untuk
sekedar berdiri. Aku mulai mengangkat badan ku. Tangan aku tumpukan ke kursi
dan kemudian mendorong untuk membantuku berdiri. Aku berdiri dengan sempurna.
Aku pun menoleh ke arahnya..
Kemudian…
“…”
“…”
Kemudian
aku melihat seorang pria yang berbicara dengannya. Hanya sepersekian detik
keadaan berubah. Aku tidak bisa melihat wajah pria itu. Dia orang yang aku
kenal atau tidak. Pria itu menghadap kearahnya dan membelakangi ku. Aku tidak
bisa lagi melihat dia tapi hanya punggung sang pria itu.
Mungkin
sudah saatnya aku menyerah… Dia dan pria itupun berlalu ke arah lainnya.
Sedangkan aku hanya berdiri diam. BERAKHIR… Itu lah judul hari ini…
Aku
kembali menoleh ke kanan dan melemparkan senyum sambil berkata,” tidak itu
bukan dia…”
“Mas
mau kemana? Tidak mau menunggu sedikit lebih lama lagi?”
“Tidak,
dia tidak akan pernah datang. Mungkin jika kembali, dia tak akan sama lagi” aku
mengakhiri dengan senyum kepada anak itu kemudian berlalu dari kursi itu.
Hari
itu Januari pun berakhir. Saat di mana aku akan melupakannya… Oh iya…. Dia
memang kembali… Tapi tak sama lagi…
End.

Comments
Post a Comment